eei-alex.comĀ — Empat mahasiswa Kampus Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Sukai) Yogyakarta pastikan tuntutan persyaratan tingkat batasan penyalonan presiden atau presidential threshold yang mereka sampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ditunggangi barisan mana saja.
Enika Maya Oktavia, salah seorang mahasiswa penggugat memperjelas bila permintaan tes materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dia dan beberapa rekannya sampaikan ialah murni representasi dari tiap-tiap pemohon dan tidak sebagai wakil universitas mereka.
Enika berkata, dia dan beberapa rekannya yang bergabung dalam Komune Pengamat Konstitusi – organisasi mgo55 login sah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga – sebelumnya pernah ikuti Diskusi Penegakan Hukum Pemilu perguruan tinggi se-Indonesia ke-III Tahun 2023 yang diadakan Bawaslu.
Mosi diskusi pada set final ialah penghilangan presidential threshold dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Mahkamah yang dipegang Ketua MK Anwar Usman merestui beberapa permintaan Almas dalam tes UU Pemilu menjadi calon presiden/calon wakil presiden minimum 40 tahun atau eksper sebagai kepala wilayah baik pada tingkat propinsi atau kabupaten/kota.
Keputusan itu buka jalan untuk Gibran Rakabuming Raka untuk bersaing di Pemilihan presiden 2024, walau waktu itu baru berusia 36 tahun dan tetap memegang sebagai Wali Kota Solo.
Enika meneruskan, awalnya tes materi Pasal 222 UU 7/2017 selalu gagal karena faksi yang mempunyai posisi hukum (legal standing) untuk ajukan permintaan pengetesan konstitusionalitas ialah parpol (partai politik) atau kombinasi parpol peserta Pemilu. Ataulah bukan perorangan masyarakat negara yang mempunyai hak untuk pilih.
Walau, Enika dan beberapa rekannya menyaksikan MK ‘melunak’ masalah posisi hukum atau legal standing pemohon dalam tes materi saat keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kasusnya disodorkan oleh Almas.
“(Sebelumnya) saat pemilih seperti kita ingin ajukan judicial ulasan undang-undang pemilu itu tidak dapat. Kita tidak punyai legal standing ke MK. Tetapi, selanjutnya ada Keputusan 90, keputusan Almas yang mengatakan jika pemilih itu bisa juga punyai legal standing,” terang Enika.
“Pada akhirnya, kami mulai men-draft atau selanjutnya menulis berkaitan dengan tuntutan permintaan ini itu pada awal atau tengah Februari. Di situ kami mulai men-draft, kami mulai selanjutnya menulis tuntutan permintaan-permohonannya,” tambahnya.
Dalam argument-nya, Enika dan kawan-kawan mengatakan warga atau pemilih sering dipandang bukan sebagai subyek, tetapi object penerapan demokrasi. Dia kembali lagi ke bukti tiap legal standing dari banyak tuntutan berkaitan pemilu yang digugurkan di MK.
Enika ungkap argumen permintaan menyengaja disodorkan ke MK sesudah ajang Pemilihan presiden 2024 untuk menghindar dari beragam penekanan politik sepanjang proses pengetesannya.
Selanjutnya, Enika mengaminkan masalah tingkat batasan adalah ruangan open legal kebijakan. Maknanya wewenangnya menjadi ranah pembikin undang-undang dan jangan diubah-ubah MK.
Ketua Program Study Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Gugun El Guyanie sementara itu ikut pastikan bila ke-4 mahasiswanya itu ajukan tuntutan ke MK tanpa ditunggangi beberapa pihak tertentu, termasuk kampusnya.