eei-alex.com – Komisi Pembasmian Korupsi (KPK) percaya diri dapat mengembalikan rugi keuangan negara sejumlah 60 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitaran Rp988,5 miliar karena kasus sangkaan korupsi dalam pemberian sarana credit dengan dana yang mengambil sumber dari APBN di Instansi Pendanaan Export Indonesia (LPEI).
“Berkaitan dengan kasus LPEI ini kami akan mengoptimalkan seoptimal mungkin berkaitan dengan pengembalian lebih kurang 60 juta dolar AS,” kata Kasatgas Penyidik KPK Budi Sokmo saat diverifikasi di Jakarta, Selasa.
Budi tidak dapat memberi info lebih detil masalah cara apa yang hendak dilakukan KPK untuk kembalikan uang itu ke kas negara, tetapi ia percaya diri hal itu akan terwujud bersamaan berjalannya proses penyelidikan.
“Pada proses insyaallah dapat tercover semuanya untuk kita balikkan ke negara lebih kurang Rp900 miliar rupiah,” katanya.
KPK pada Selasa (3/3), umumkan sudah memutuskan 5 orang sebagai terdakwa dalam kasus sangkaan korupsi pemberian sarana credit dengan dana yang mengambil sumber dari APBN di lingkungan LPEI.
“5 orang terdakwa ini terdiri dari 2 orang, yakni direktur dari LPEI dan 3 orang dari PT Petro Energy atau PT PE,” kata Budi Sokmo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin.
Berdasar informasi dari situs slot gacor mgo777,, beberapa terdakwa itu ialah Direktur Eksekutor 1 LPEI Wahyudi dan Direktur Eksekutor 4 LPEI Bijak Setiawan.
Selainnya mereka sebagai terdakwa, Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Khusus PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Khusus PT Petro Energy Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susi Mira Dewi Sugiarta.
Budi menjelaskan kasus itu bermula di tahun 2015, atau waktu itu PT PE terima credit dari LPEI sebesar lebih kurang 60 juta dolar AS atau sekitaran Rp988,5 miliar.
Credit itu diterima dalam tiga term, yaitu term pertama di tanggal 2 Oktober 2015 sekitaran Rp297 miliar rupiah, selanjutnya di tanggal 19 Februari 2016 sejumlah Rp400 miliar rupiah, dan di tanggal 14 September 2017 sejumlah Rp200 miliar.
Beberapa direksi dari LPEI ini, katanya, ketahui jika current ratio PT PE ini di bawah 1 atau persisnya 0,86, yang maknanya pengeluaran perusahaan lebih besar dibanding penghasilan yang mempunyai potensi membuat PT PE kesusahan membayar pada credit yang diberi oleh PT LPEI.
Direksi LPEI yang diputuskan sebagai terdakwa dalam kasus itu pun tidak lakukan peninjauan pada agunan atau jaminan yang diberi PT PE waktu ajukan proposal credit.
PT PE membuat kontrak palsu, selanjutnya menjadi dasar ajukan credit ke LPEI. Hal itu diketahui oleh direksi dari PT LPEI. Tetapi, ke-2 nya bahkan juga biarkan dan tidak lakukan penilaian saat pembayaran credit term pertama tidak lancar.
Menurut Budi, hal tersebut telah diketahui dan telah diberi saran oleh faksi riset atau bawahan dari direktur.
“Tetapi, beberapa direktur masih tetap memberi credit ke PT PE meskipun keadaan itu telah disampaikan dari bawah, jika sebetulnya PT PE tidak memiliki hak memperoleh hebat up sejumlah Rp400 miliar dan Rp200 miliar sesudah pengucuran yang pertama,” kata Budi.
Semua permasalahan itu diacuhkan oleh ke-2 direktur yang memiliki wewenang untuk memberi kesepakatan pada dikeluarkannya credit itu.
Hal tersebut karena saat sebelum dilakukan pemberian credit terjadi tatap muka di antara direksi PT PE dan direksi LPEI.
“Mereka bermufakat jika untuk proses pemberian credit itu akan dipermudahkan,” katanya.
Atas perlakuan menantang hukum itu, penyidik KPK memutuskan ke-5 orang itu sebagai terdakwa dengan penghitungan rugi keuangan negara masih juga dalam penghitungan oleh Tubuh Pemantauan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).